Minggu, 17 September 2017

Melihat 'Kitab' Sutasoma, Asal Muasal 'Bhinneka Tunggal Ika' | Dominikus David Biondi Situmorang

Melihat 'Kitab' Sutasoma, Asal Muasal 'Bhinneka Tunggal Ika'

Dewi Irmasari - detikNews
Melihat Kitab Sutasoma, Asal Muasal Bhinneka Tunggal IkaFoto: Dewi Irmasari/detikcom
Jakarta - Indonesia punya semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' yang memiliki arti 'berbeda-beda tetapi tetap satu'. Semboyan itu menjadi moto bangsa Indonesia yang melambangkan persatuan di tengah keberagaman Indonesia.

Sebenarnya frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' telah tercipta jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan penciptanya pun bukan seorang pejuang kemerdekaan.

'Bhinneka Tunggal Ika' adalah sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno.

Kakawin Sutasoma merupakan karangan Mpu Tantular yang dituliskan menggunakan bahasa Jawa kuno dengan aksara Bali. Diketahui, Kakawin Sutasoma dikarang pada abad ke-14.

Kutipan frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' sendiri terdapat dalam petikan pupuh 139 bait 5 pada Kakawin Sutasoma.

Bila diterjemahkan tiap kata, Bhinneka punya arti 'beraneka ragam'. Kata tunggal berarti 'satu' dan ika berarti 'itu'. Sehingga, bila mengacu berdasarkan arti secara harfiahnya, 'Bhinneka Tunggal Ika' memiliki arti 'beraneka ragam itu satu'.

Melihat 'Kitab' Sutasoma, Asal Muasal Bhineka Tunggal IkaFoto: Dewi Irmasari/detikcom

Kakawin Sutasoma kini bisa dilihat secara langsung dalam Pameran Pancasila yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pameran tersebut diadakan di Museum Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Barat, No 12, Gambir, Jakarta Pusat.

Kakawin Sutasoma yang dipamerkan telah dituliskan kembali di atas daun lontar berukuran 40,5 X 3,5 cm pada tahun 1851 dengan isi 182 halaman dan tiap halamannya ditulis dalam 4 baris. Namun, tak diketahui siapa yang menuliskan ulang Kakawin Sutasoma tersebut, karena tidak ada petugas yang bisa ditanya perihal informasi lengkap kakawin tersebut.

detikcom mengunjungi Pameran Lahirnya Pancasila, Sabtu (2/6/2017). Dalam pameran yang berlangsung sejak 2 hingga 15 Juni 2017 ini, Kakawin Sutasoma bisa ditemukan tepat di tengah setelah gapura pintu masuk pameran. Pengunjung yang masuk pun dikenai biaya Rp 5.000 per orang. Jam bukanya yaitu pukul 08.00 WIB sampai 15.00 WIB.
(irm/tor)

Dominikus David Biondi Situmorang

Links:

Bhinneka Tunggal Ika | Dominikus David Biondi Situmorang

Bhinneka Tunggal Ika

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas | Dominikus David Biondi Situmorang
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahitsekitar abad ke-14.
Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.[1]

Sajak penuh[sunting | sunting sumber]

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Terjemahan ini didasarkan, dengan adaptasi kecil, pada edisi teks kritis oleh Dr Soewito Santoso.[2]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Depkumham.go.id
  2. ^ Santoso, Soewito Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana 1975:578. New Delhi: International Academy of Culture